Jumat, Juli 11, 2008

Sekolah : Untuk Membentuk atau Dibentuk ?

Nanti ketika anak-anak itu merayakan kelulusannya dengan corat-coret baju dan coreng-moreng wajah, kebahagiaan macam apakah yang mereka rasakan?

Lulus dengan mencontek, yang kuncinya disediakan oleh guru. Lulus karena koreksi jawaban oleh guru. Lulus karena formula penilaian diubah oleh birokrat pendidikan agar mengangkat yang bernilai rendah.

Bayangkan, untuk mencontek pun anak-anak itu tidak punya langkah kreatif, tetapi tinggal memanfaatkan kreativitas guru yang berawal dari operasi subuh.

Akan tetapi percayalah, ada saja murid, sekelas pula, yang ogah mencontek. Seorang guru SMP negeri di Jakarta Timur, yang pernah menjadi pengawas ujian di sekolah “luar negeri” (pinjam istilah Alix artinya “swasta”) yang kebetulan berkualitas abal-abal, jadi bingung ketika tawaran kepada peserta untuk mencontek temannya tak diacuhkan.

“Mau mencontek apa dari siapa, wong sekelas nggak ada yang bisa njawab soal bahasa Inggris itu,” kata Pak Guru asal Klaten itu. Hal sama berlaku untuk matematika.

Kemudian penyerbuan satuan antiteror ke sebuah ruang guru hanyalah bagian dari kemelut pendidikan di negeri ini. Sebuah pedagogi absurd telah dipamerkan, melengkapi keanehan rutin: ujian sekolah yang dijaga polisi, seolah lebih berbahaya ketimbang konser paling rusuh.

Penyerbuan eksesif itu menegaskan satu hal. Sekolah sedang disandera oleh kemuliaan sistem pendidikan yang ajaib.Tapi penyerbuan itu bukan untuk membebaskan melainkan untuk menambah kekusutan. Securang-curangnya guru, mereka bukanlah teroris sasaran Detasemen Khusus 88.

Semua ilustrasi tadi melengkapi kasus Air Mata Guru, ketika para pendidik yang menguak skandal kecurangan malah disingkirkan oleh korpsnya sendiri.

Betulkah hanya sekolah yang tersandera? Tidak. Seluruh masyarakat kita. Termasuk anggota satuan itu di luar tugasnya, karena mereka juga orangtua murid.

Ujian sekolah, mau namanya Ebtanas, mau UAN, entah apa, hanyalah pemulus agar setiap siswa lulus.

Ketidaklulusan berarti aib bagi murid, orangtua murid, guru, sekolah, dan birokrat pendidikan. Bukan hanya aib melainkan juga palu kutukan. Nestapa — berupa amuk murid gagal uji — hanyalah bonus.

" Pertanyaan kita adalah: lembaga pendidikan itu untuk membentuk masyarakat atau sekadar mengesahkan apa yang berlangsung nyata meski tak ideal dalam kehidupan " ?

SIM boleh beli. IMB boleh kongkalingkong. Tabung gas murah untuk rakyat bawah jatuh ke warga yang mampu beli dua tabung reguler. Selebihnya silakan Anda tambah sendiri.

Kita kadung demen mengabaikan standar. Segala hal bisa dikompromikan atas nama semangat kekeluargaan. Begitu kacaunya standardisasi sehingga pada abad lalu bisa terjadi status sekolah swasta yang bagus “disamakan” dengan sekolah negeri yang jelek.

Celakanya, sekolah bukanlah lembaga asing dari planet luar. Sekolah yang berisi guru, murid, orangtua murid, dan birokrat pendidikan, adalah bagian masyarakat nyata.

sumber : dagdigdug.com

0 komentar: