Rabu, Desember 24, 2008

Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Non Formal (BAN PNF)

Berdasarkan Undang Undang no 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah no 19 tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional , akreditasi dilakukan oleh pemerintah dan lembaga mandiri yang diberi kewenangan oleh Pemerintah untuk melakukan akreditasi. Lembaga pelaksanaan akreditasi Pendidikan Non Formal yang dilakukan pemerintah dilaksanakan oleh BAN-PNF (PP no 19 tahun 2005 pasal 87 ayat 1c)

BAN PNF bersifat independen yang dibentuk dengan Permen no 30 tahun 2005 tentang Badan Akreditasi Pendidikan Non Formal , dan keanggotaan BAN PNF diangkat dengan Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional

Keanggotaan BAN-PNF terdiri atas ahli-ahli dan/atau orang yang berkompeten

dalam bidang pendidikan non formal, bidang evaluasi pendidikan, kurikulum,

manajemen , pendidikan, dan unsur masyarakat pendidikan yang memiliki

wawasan, pengalaman, dan komitmen untuk peningkatan mutu pendidikan.

Jumlah anggota BAN PNF berjumlah gasal paling sedikit 11 orang dan paling

banyak 15 orang. Ketua dan Sekretaris BAN-PNF dipilih oleh dan dari anggota

berdasarkan suara terbanyak.

Anggota dalam melaksanakan tugas dan fungsinya dibagi dalam 4 komisi yaitu ,

1. Pelaksana akreditasi

2. Penjaminan mutu,

3. perencanaan dan pengembangan,

4. pendataan dan sistim informasi manajemen

Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya BAN PNF di lengkapi dengan

sekretariat. Kepala Sekretariat BAN-PNF dijabat oleh Sekretaris Badan

Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional. Sekretariat

BAN PNF dalam melaksanakan kegiatan operasional di lengkapi dengan bagian

administrasi , pelaksanaan akreditasi, penjaminan mutu, perencanaan dan

pengembangan, pendataan dan sistim informasi manajemen

BAN PNF dalam menjalankan tugasnya dapat mengangkat tim ahli, tim asesor

1. Tugas Pokok dan Fungsi BAN PNF

BAN PNF bertugas menetapkan kebijakan dan sistem akreditasi PNF yang dapat dirinci sebagai berikut.

1. Merumuskan kebijakan, prosedur, dan perangkat akreditasi;

2. Merumuskan criteria dan perangkat akreditasi pendidikan non formal untuk diusulkan kepada Menteri Pendidikan Nasional

3. Merancang program kerja tahunan dan lima tahunan;

4. Menyelenggarakan sosialisasi tentang program dan kegiatan;

5. Melakukan akreditasi terhadap satuan dan program

6. Menetapkan sertifikasi hasil akreditasi dan mengumkan hasilnya ;

7. Melakukan Surveilan dan Sistem Pengawasan Evaluasi dan Monitoring (SPEM) pada persiapan, pelaksanaan, dan rekomendasi tindak lanjut akreditasi;

8. Melakukan ketata-usahaan BAN PNF;

9. Membangun dan memfungsikan sistem informasi manajemen serta pangkalan data BAN PNF;

10. Mengkoordinasikan pelaksanaan akreditasi secara nasional;

11. Penghubung dengan badan akreditasi lainnya

12. Membuat laporan bulanan dan tahunan.

Senin, November 10, 2008

Revolusi Pendidikan dengan Program Kejuruan Dini

Bayangan hari ini: Kelak Indonesia terus melaju dengan perkembangan peradaban dunia namun jauh tertinggal dari kemajuan tekhnologi dan terus megalami keterpurukan ekonomi. Ketidakmapanan sumber daya manusia dan krisis moral yang berkelanjutan menjadi masalah utamanya. Lantas langkah apa yang telah dibuat? Kita semua berharap Indonesia akan menjadi Negara yang besar. Langkah yang terpenting adalah dengan Revolusi Pendidikan.

Disadari atau tidak, perumusan kurikulum pada pendidikan dasar selama ini berpegang pada kekhawatiran akan tingginya angka putus sekolah yang terjadi. Sehingga metoda pendidikan dasar lebih mengacu pada sistem aman yang melahirkan generasi yang mengenal banyak cabang ilmu tapi menjadi awam terhadap ilmu itu sendiri. Penyebabnya berputar pada minimnya spesifikasi jurusan dan kedangkalan kajian diberbagai bidang ilmu yang diperoleh anak didik.

Wajar bila kemudian sebagian kelompok orang beranggapan percuma menyekolahkan anak hingga ke Sekolah Menengah Atas. Karena pendidikan yang dijalani selama dua belas tahun tidak mampu menunjukkan nilai lebih bila dibanding dengan anak seusia yang hanya lulus satu jenjang pendidikan dibawahnya, siswa lulusan SMP juga tidak menunjukkan nilai lebihnya bila dibanding dengan rekan seusianya yang hanya lulus dari SD. Lebih mengecewakannya lagi pemerintah hanya sibuk dengan masalah-masalah judul. SMU menjadi SMA, EBTANAS menjadi UN, UMPTN menjadi SPMB berubah lagi menjadi SNMPTN dan kesemuanya adalah proyek yang tentu membutuhkan biaya.

Jauh berbeda dengan kondisi hari ini. Kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan bagi anak telah tampak nyata. Didukung dengan kesempatan berupa bantuan yang diberikan Pemerintah dengan besarnya angka subsidi hendaklah tidak menjadi sia-sia. Dengan faktor-faktor ini telah membuka kesempatan bagi pemerintah untuk membuat suatu format baru dalam dunia pendidikan. Waktu yang tepat untuk membuat perubahan. Berfikir bagaimana mempersiapkan tenaga muda terampil yang dinamis dan energik sekaligus haus akan ilmu. Bagaimana menciptakan peluang dan kesempatan dengan memanfaatkan generasi yang mempunyai hubungan saling ketergantungan yang erat.

Keadaan yang tentunya diharapkan terjadi dimasa yang akan datang ini bisa saja terwujud dengan penerapan Pendidikan Kejuruan Dini. Pendidikan Kejuruan Dini yang dimaksud adalah dengan melaksanakan pembagian kejuruan berdasarkan minat dan bakat yang dimiliki pelajar dimulai dari tingkat dasar. Setelah mereka dapat membaca dan menghitung, arahkan mereka pada bidang yang menonjol. Untuk itu perlu kerjasama antara guru selaku tenaga pengajar dan orang tua.

Bukan tidak mungkin budaya kerja keras yang temurun pada anak bangsa selama ini dikembangkan menjadi para pekerja andal yang bukan hanya siap pakai, tapi mampu menciptakan lapangan pekerjaan.
Tapi mampukan para tenaga pengajar yang ada saat ini melahirkan pemuda yang yang siap pakai dengan hanya bermodalkan pendidikan SMP? Dan menciptakan tenaga kerja andal yang hanya lulus dari pendidikan SMA?

Bayangkan bila seorang siswa yang hanya lulus dari sekolah menengah pertama mampu menjadikan ilmu yang didapat bermanfaat bagi masyarakat sekaligus menjadi modal untuk menopang hidup. Untuk itu perhatian pendidikan lebih pada penguasaan praktek dan pendekatan teori sehingga mampu menghasilkan para praktisi andal yang kreatif dan inovatif. Dan bukan tidak mungkin akan munculnya para profesor muda tanpa gelar.

Spesialisasi dan kespesifikan ilmu yang ditanamkan tentu berefek pada minimnya pengetahuan yang lebih bersifat umum. Namun kalau kita mau berfikir positif, maka ini akan menjadi penunjang bagi tumbuh kembangnya rasa keingintahuan dan haus akan ilmu. Spesifikasi menunjang pola saling ketergantungan yang lebih erat, melahirkan generasi mapan yang konsumtif. Efek lain yang hampir tidak mungkin untuk dihindarkan adalah dibutuhkannya tenaga-tenaga baru yang berperan sebagai staff pengajar. Bahkan mungkin pemerintah harus mengambil langkah untuk memberikan pensiun muda bagi sejumlah tenaga pengajar dan mengalih fungsi sejumlah tenaga honorer di sekolah.

Bagi Indonesia, membuat perubahan bukanlah pekerjaan gampang dan dapat dipastikan akan menjadi kontroversi dikalangan masyarakat luas. Bila kita melihat kemasa lalu, hal ini tentu wajar saja. Melihat kenyataan akan lamanya bangsa ini terjajah, hingga kemudian terlaksananya proklamasi pun atas desakan kelompok muda. Begitu pula dengan reformasi 98, semuanya kemudian terlaksana setelah darah tertumpah. Alangkah baiknya bila kita mampu berangkat dari berbagai trauma dan menjadi bangsa yang dewasa.

Saya tidak peduli siapa dan bagaimana pemimpin bangsa. Saya dan banyak orang lain hanya akan mengenang perubahan apa yang telah ia perbuat.

Sumber : http://news.okezone.com/BeritaAnda/index.php/ReadStory/2008/11/09/230/162161/revolusi-pendidikan-dengan-program-kejuruan-dini

Kamis, Agustus 28, 2008

Model e Learning Paket B Berbasis BLog





Pelaksanaan Ujicoba Model di SKB Polman dan PKBM Addarasa Kecamatan Matakali
Kabupaten Polman Juli-Agustus 2008

No

Kegiatan

1.

2.

3.

Kajian kepustakaan, survey lapangan, penyusunan TOR, Seminar awal, Pelaksanaan Identifikasi Kebutuhan Belajar, Seminar hasil identifikasi.

Penyusunan Rancangan Model, Penyusunan desain ujicoba model, Pelaksanaan Ujicoba model (penelitian), seminar hasil ujicoba model.

Diseminasi terbatas dan Pembakuan model, penyusunan laporan akhir pengembangan model, dan penyebarluasan model






Tim Pengembang Model

Jamaluddin, S.Kom

(Email : Jam6000202@yahoo.com) 0852.422.05086



Rabu, Agustus 27, 2008

407 Buku di BSE

Fase terakhir buku-buku yang ada di Buku Sekolah Elektronik (BSE) telah diselesaikan. Jumlah seluruh buku 407, terdiri dari 95 buku SD, 72 buku SMP, 24 buku SMA dan 216 buku SMK. Buku-buku yang dikerjakan di fase awal juga telah diperbaiki, diantaranya dengan mencantumkan HET yang sebelumnya disebagian buku belum ada, reduksi ulang PDF dan membuat fullbook (satu buku lengkap dalam satu file PDF) untuk setiap buku. Link untuk download fullbook (saat ini) muncul pada link paling bawah saat muncul pilihan download per bab.

File-file BSE terdiri dari file-file untuk baca online, file-file untuk download per bab, dan file-file fullbook. Seluruh file berjumlah 93.814 file, 2849 folder, ukuran seluruh file 13 GB. Fullbook masing-masing buku berukuran rata-rata 7 MB, total 407 fullbook adalah 3 GB.

Server BSE berada di dua buat data center, akses ke tiap data center dibedakan, yaitu akses ke data center pertama melalui http://bse.depdiknas.go.id/ dan akses ke data center kedua (tambahkan www) http://www.bse.depdiknas.go.id/

Distribusi 407 buku selain melalui server utama BSE juga dapat melalui server mirror, saat ini rsync server masih disiapkan isinya. Distribusi melalui DVD dibuatkan masternya, kapasitas DVD 4.7 GB jika diisi 407 fullbook BSE, masih dapat diisi 1.5 GB, ada saran, baiknya yang 1.5 GB diisi/ditambah file apa ya?

Selasa, Juli 29, 2008

KPAI nilai UN/UASBN melanggar UUD 1945



Sumber : Harian Terbit

JAKARTA - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai pelaksanaan ujian nasional (UN) dan ujian akhir sekolah berstandar nasional (UASBN) melanggar Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan Undang-Undang Perlindungan Anak. Karena itu, KPAI minta kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar mulai 2009 tidak ada lagi pelaksanaan UN dan UASBN.

Demikian ditegaskan Sekretaris Komisi Perlindungan Anak Indonesia Hadi Supeno dalam peluncuran 'Pos Penyampaian Aspirasi dan Pengaduan Masalah UN dan UASBN' yang dihadiri sejumlah lembaga swadaya masyarakat peduli pendidikan, stakeholder pendidikan, seperti guru, pengamat dan praktisi pendidikan dan siswa SDN 01 Tanah Sereal di Kantor KPAI, Senin [26/5].

"Dari aspek yuridis UN-UASBN bertentangan dengan UUD 1945 dan UU Perlindungan Anak yang telah menekan kebebasan ekspresi anak. Bahkan, melanggar sendiri kebijakan pemerintah tentang wajib belajar pendidikan dasar (SD/SMP) sembilan ta-hun. Penilaian KPAI ini setelah mengkaji dan melakukan roadshow ke sejumlah daerah di Indonesia," tandas Hadi Supeno.

KPAI juga menilai sistem UN-UASBN telah membuka terjadinya pembohongan yang dilakukan para guru dan pelaksana pendidikan serta terjadi ketidakadilan cultural. Sebab, UN-UASBN tidak senafas dengan perbedaan kondisi anak baik secara natural, status sosial-ekonomi satu anak dengan anak lain dan satu daerah dengan daerah lain.

Menurut dia, dari aspek akademik dan pedagogic, pendidikan adalah sebuah proses dan setiap anak memiliki potensi diri dan talenta masing-masing. UN-UASBN yang hanya memasukan mata pelajaran tertentu, tapi menjadi vonis seorang siswa lulus atau tidak llus dari suatu lembaga pendidikan.

"UN-UASBN telah meng-ubah sekolah bukan sebagai lembaga pendidikan, tapi lembaga pelatihan untuk menghadapi ujian. Hal ini bertentangan dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Karena itu, pelaksanaan UN-UASBN menunjukan tidak komitmennya mendiknas terhadap program wajar sembilan tahun," jelasnya.

Di sisi lain, tambahnya, di berbagai daerah bermunculan tindakan kecurangan yang dilakukan guru sebagai ekspresi tekanan yang sangat kuat terhadap para guru. (mya)

Jumat, Juli 11, 2008

Sekolah : Untuk Membentuk atau Dibentuk ?

Nanti ketika anak-anak itu merayakan kelulusannya dengan corat-coret baju dan coreng-moreng wajah, kebahagiaan macam apakah yang mereka rasakan?

Lulus dengan mencontek, yang kuncinya disediakan oleh guru. Lulus karena koreksi jawaban oleh guru. Lulus karena formula penilaian diubah oleh birokrat pendidikan agar mengangkat yang bernilai rendah.

Bayangkan, untuk mencontek pun anak-anak itu tidak punya langkah kreatif, tetapi tinggal memanfaatkan kreativitas guru yang berawal dari operasi subuh.

Akan tetapi percayalah, ada saja murid, sekelas pula, yang ogah mencontek. Seorang guru SMP negeri di Jakarta Timur, yang pernah menjadi pengawas ujian di sekolah “luar negeri” (pinjam istilah Alix artinya “swasta”) yang kebetulan berkualitas abal-abal, jadi bingung ketika tawaran kepada peserta untuk mencontek temannya tak diacuhkan.

“Mau mencontek apa dari siapa, wong sekelas nggak ada yang bisa njawab soal bahasa Inggris itu,” kata Pak Guru asal Klaten itu. Hal sama berlaku untuk matematika.

Kemudian penyerbuan satuan antiteror ke sebuah ruang guru hanyalah bagian dari kemelut pendidikan di negeri ini. Sebuah pedagogi absurd telah dipamerkan, melengkapi keanehan rutin: ujian sekolah yang dijaga polisi, seolah lebih berbahaya ketimbang konser paling rusuh.

Penyerbuan eksesif itu menegaskan satu hal. Sekolah sedang disandera oleh kemuliaan sistem pendidikan yang ajaib.Tapi penyerbuan itu bukan untuk membebaskan melainkan untuk menambah kekusutan. Securang-curangnya guru, mereka bukanlah teroris sasaran Detasemen Khusus 88.

Semua ilustrasi tadi melengkapi kasus Air Mata Guru, ketika para pendidik yang menguak skandal kecurangan malah disingkirkan oleh korpsnya sendiri.

Betulkah hanya sekolah yang tersandera? Tidak. Seluruh masyarakat kita. Termasuk anggota satuan itu di luar tugasnya, karena mereka juga orangtua murid.

Ujian sekolah, mau namanya Ebtanas, mau UAN, entah apa, hanyalah pemulus agar setiap siswa lulus.

Ketidaklulusan berarti aib bagi murid, orangtua murid, guru, sekolah, dan birokrat pendidikan. Bukan hanya aib melainkan juga palu kutukan. Nestapa — berupa amuk murid gagal uji — hanyalah bonus.

" Pertanyaan kita adalah: lembaga pendidikan itu untuk membentuk masyarakat atau sekadar mengesahkan apa yang berlangsung nyata meski tak ideal dalam kehidupan " ?

SIM boleh beli. IMB boleh kongkalingkong. Tabung gas murah untuk rakyat bawah jatuh ke warga yang mampu beli dua tabung reguler. Selebihnya silakan Anda tambah sendiri.

Kita kadung demen mengabaikan standar. Segala hal bisa dikompromikan atas nama semangat kekeluargaan. Begitu kacaunya standardisasi sehingga pada abad lalu bisa terjadi status sekolah swasta yang bagus “disamakan” dengan sekolah negeri yang jelek.

Celakanya, sekolah bukanlah lembaga asing dari planet luar. Sekolah yang berisi guru, murid, orangtua murid, dan birokrat pendidikan, adalah bagian masyarakat nyata.

sumber : dagdigdug.com

Jumat, Juli 11, 2008

Menuju Kualifikasi Khusus PTK-PNF


Peraturan Pemerintah Nomor 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan telah mengamanahkan bahwa Pendidik dan Tenaga Kependidikan baik formal maupun nonformal minimal kualifikasinya strata satu (S1), walau demikian untuk mencapainya diberikan batasan waktu 10 tahun.

Dalam PP 19/2005 di pasal 29 jelas disebutkan bahwa untuk Pendidik baik PAUD atau yang sederajat, SD/MI atau yang sederajat, SMP/MTS atau yang sederajat, SMA/MA atau yang sederajat jelas disebutkan bahwa kualifikasi mereka minimum D-IV atau S1. Berkenaan dengan hal tersebut jelas bahwa Direktorat PTK-PNF selaku instansi Pemeritah sebagai memangku amanat PP tersebut untuk dapat membuat semua PTK-PNF dengan kualifikasi S1.

PTK-PNF saat ini secara agregat sejumlah ± 1,7 juta orang (sumber: Dittentis, 2004), sedangkan data PTK-PNF per individu yang berhasil terkumpulkan sejumlah 107 ribu orang (sumber: Dit. PTK-PNF, 2008). Dalam pemaparannya berulangkali Erman Syamsuddin mengatakan bahwa dari seluruh PTK-PNF baru sekitar 10% yang kualifikasinya sudah memenuhi standar sesuai dengan PP 19, sisanya masih menjadi tugas dari Dit. PTK-PNF serta masyarakat pemerhati pendidikan nonformal.

Khusus untuk Pamong Belajar dan Penilik yang sudah memenuhi kualifikasi sesungguhnya sudah cukup baik, untuk Pamong Belajar sudah 72 % yang S1 dari 3210 orang (sumber: Data Dittentis 2004) dan Penilik hampir 37 % yang lulus S1 dari 6733 orang (sumber: Data Dittentis 2004). Namun tidak begitu halnya PTK-PNF lainnya seperti Pendidik PAUD, Instruktur Kursus, Tutor dan Pengelola Satuan Pendidikan, datanya semuanya masih jauh dari yang diharapkan.

Sebagai gambaran khusus untuk Pendidik PAUD saat ini kebanyakan adalah bukan tenaga-tenaga profesional seperti yang diharapkan, bahkan kebanyakan adalah wanita-wanita yang lulusan dari SMP atau SMA, begitu juga dengan Tutor kesetaraan kebanyakan berasal dari Guru pada pendidikan formal, Lain lagi dengan tutor kesetaraan yang banyak berasal dari organisasi masyarakat. Keragaman PTK-PNF ini serta tugas pokok dan fungsinya terlebih lagi dengan sasarannya yang begitu beragam dan dinamis membuat pendidikan nonformal membutuhkan metode khusus dalam penanganannya.

Demi melaksanakan PP 19/2005, dengan memberikan beasiswa atau bantuan pendidikan kepada PTK-PNF dirasakan amat mahal biayanya. Dapat dibayangkan apabila per semester untuk S1 diberika dana sekitar 1,8 juta per orang, untuk S2 sejumlah 2,5 juta per orang atau S2 sejumlah 3 juta per orang. Maka pertahun untuk S1 sebesar 21 juta atau selama lulus (5 tahun) berkisar hampir 105 juta, sedangkan untuk S2 pertahun berkisar 30 juta atau selama lulus berkisar 150 juta dan S3 berkisar 36 juta pertahun atau selama lulus 180 juta. Sebuah biaya yang amat mahal. Bisa dihitung untuk dapat mengangkat semua PTK-PNF menjadi S1 yang per orang membutuhkan anggaran 105 juta menjadi amat sangat mahal harganya, 10 orang saja sudah 1 M harganya. Apalagi jika harus me S1 kan 1,7 juta orang PTK-PNF, sungguh sebuah harga yang amat mahal sekali.

Oleh sebab itu, salah satu strategi dari Direktorat adalah dengan menggunakan sistem konversi, sebuah konsep yang ingin mengkonversikan diklat yang dilakukan untuk pengembangan kompetensi PTK-PNF (Diklat Profesi) sehingga dapat diakui menjadi SKS dalam dunia akademisi. Oleh karena itu perlu dicarikan sebuah model diklat yang sudah dikaji dari sisi akademik, legalitas, pengintegrasian dengan kurikulum program studi yang dilakukan dan lain sebagainya.

Saat ini Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi telah berupaya meningkatkan kualitas dari lulusan Perguruan Tinggi dengan berbagai cara, antara lain dengan menetapkan akreditasi bagi setiap Perguruan Tinggi Negeri maupun Swasta. Sudah barang tentu ini berpengaruh kepada standar kelulusan setiap mahasiswa, kurikulum yang digunakan, kualitas dosen, jam belajar, dan lain sebagainya. Maka model diklat konversi yang digunakan harus betul-betul dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.

Menindaklanjuti hal tersebut Direktorat PTK-PNF melakukan kerjasama dengan 4 (empat) LPTK terpilih untuk masing-masing model diklat sesuai dengan kajian mereka masing-masing yang tertuang dalam proposal programnya dalam melakukan program rintisan yang diberinama “Konversi Hasil Diklat ke SKS”, awal rintisan ini dilakukan kerjasama dengan 4 (empat) Perguruan Tinggi yaitu Universitas Negeri Yogjakarta (UNY), Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Universitas Negeri Makassar (UNM) dan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).

UNJ dalam kerjasamanya mengkhususkan untuk pembahasan dan penelitisan bagi model diklat yang akan dilakukan terhadap Tutor PAUD, Tutor Kesetaraan dan Tutor Keaksaraan guna mendukung sistem konversi ini. Hal yang dilakukan berupa kajian-kajian teoritik model diklat, pembuatan rancangan model diklat, pambahasan rancangan tersebut dan penyusunan langkah dalam pelaksanaan model tersebut. UNM dalam merealisasikan program tersebut lebih mengena ke substansi dengan melakukan diklat menjadi 3 (tiga) tahapan yaitu tahapan pertama untuk 5 (lima) hari, melakukan pembelajaran materi teoritis dan praktek terbatas dalam kelas. Tahap kedua selama 52 hari, belajar mandiri disertai bimbingan teknis dari fasilitator, dan tahap terakhir selama 3 hari, presentasi hasil dari tugas mandiri. Kesemuanya bahkan dihargai sebanyak 8 SKS untuk 480 jam pelajaran dalam 9 materi pelajaran yang sudah terbagi dari tahapan-tahapan tersebut. UNY mendiklatkan 35 orang tutor pendidikan kesetaraan untuk selama 9 minggu atau 144 jam yang setara dengan 12 SKS. Lain lagi dengan UPI yang melakukan diklat untuk 30 tutor pendidik PAUD. Hasil dari yang dikerjakan oleh keempat LPTK ini diharapkan dapat menjadi model diklat untuk konversi bagi bagi LPTK-LPTK yang lain kedepannya.

Namun, hal penting yang perlu diperhatikan adalah bahwa sesungguhnya pengembangan pendidikan nonformal itu berbeda dengan pendidikan formal, pendidikan nonformal bersifat lebih fleksibel dan dinamis. Terbukti ketika Direktorat PTK-PNF menawarkan program beasiswa kepada seluruh PTK-PNF pada tahun 2007, ternyata hamir 8% dari 370 orang yang mengembalikan beasiswanya kepada negara dengan alasan bahwa dana yang didapatkan dari beasiswa tidak mencukupi kehidupan mereka, ini amat berbeda dengan apa yang terjadi di pendidikan formal yang kebanyakan berasal dari PNS, sehingga mereka mempunyai gaji yang tetap dan jelas. Perlu juga diingat bahwa bagi pendidikan nonformal yang terpenting itu bukan kualifikasi akan tetapi kompetensi, karena pendidikan nonformal itu sesungguhnya lebih menyentuh langsung kepada masyarakat, sesuai dengan kebutuhan masyarakat atau apa yang diinginkan masyarakat serta pengakuan dari masyarakat.

Kedepan nantinya diharapkan setiap sumbangsih apapun yang dilakukan terhadap masyarakat oleh PTK-PNF bisa dihargai secara akademis, tentunya setelah memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah diakui oleh Perguruan Tinggi. Ini mungkin lebih baik bagi PTK-PNF dibandingkan mereka harus mengikuti perkuliahan yang bersifat konvensional seperti beasiswa.

Sumber : Jugaguru.com (Situs Dit. PTK PNF)

Kamis, Juli 03, 2008

Buku Pelajaran Digratiskan Depdiknas, Tahap Awal 49 Buku, Agustus 200 Buku

Siswa-siswi SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK bakal tak kesulitan lagi mendapatkan buku-buku pelajaran sekolah. Mereka pun bisa mendapatkan 200 buku pelajaran secara cuma-cuma dengan mengunduh (download) di situs Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas).

Kemudahan itu bisa terwujud setelah Senin (23/6) kemarin Depdiknas meluncurkan program buku pelajaran murah untuk siswa. Buku dalam bentuk elektronik (e-book) ini diberikan secara cuma-cuma pada seluruh siswa dan masyarakat karena hak ciptanya sudah dibeli seluruhnya oleh pemerintah. Namanya buku sekolah elektronik (BSE).

Dalam rilis Depdiknas yang didapat Radar kemarin, Mendiknas Bambang Sudibyo menegaskan, buku teks pelajaran murah yang diluncurkan itu sudah dibeli hak ciptanya dari penulisnya oleh Depdiknas. Sehingga, siswa dan masyarakat bisa memilikinya tanpa izin dari penulisnya.

”Untuk tahap pertama ini ada 49 buku yang sudah dibeli hak ciptanya oleh Depdiknas. Sampai Agustus 2008, kami menargetkan akan membeli 200 buku pelajaran SD-SMA,” jelas Bambang usai Sosialisasi Buku Teks Pelajaran dan Sistem Informasi Manajemen Keuangan di Gedung Depdiknas, Jakarta, kemarin.

Buku-buku itu, jelas Bambang, sudah memenuhi standar pendidikan nasional. Kelayakannya sudah dinilai oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Sehingga, konten dan keabsahannya sudah tidak usah diragukan lagi.

Bagaimana mendapatkan buku-buku itu? Buku-buku yang disediakan Depdiknas itu bisa diambil secara gratis oleh siswa dan masyarakat di situs http://bse.depdiknas.go.id. Dalam situs itu siswa bisa membaca langsung e-book yang disediakan. Atau jika ingin download bisa langsung dilakukan dengan mengisi persyaratan yang dibutuhkan administrator situs tersebut.

Buku-buku yang bisa di-download dan dibaca di situs tersebut untuk sementara hanya sekitar 49 buku SD-SMA mata pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, ilmu sosial. Buku-buku itu untuk kelas 1-6 SD sederajat, kelas 7-9 SMP sederajat, dan kelas 10-12 SMA sederajat.

Cara lain, selain akses langsung dengan situs tersebut, dalam waktu dekat ini sejumlah lembaga akan membuat seri e-book mata pelajaran yang ada dalam situs tersebut. Depdiknas bersama lembaga-lembaga ini akan bersama-sama menyosialisasikan buku murah itu dalam keping CD.

”Dalam sosialisasi Depdiknas, lembaga independen diminta membantu sosialisasi ini. Khususnya untuk memberikan kemudahan siswa mendapatkan akses buku murah,” ujar Pitoyo Widhi Atmoko, direktur Edu Media Nusantara, yang menjadi salah satu partner Depdiknas dalam menyosialisasikan ICT for Education, saat dihubungi via ponselnya kemarin.

Untuk sasaran sosialisasi, lembaga partner Depdiknas akan menyebarkan ke seluruh sekolah SD-SMA. Baik dalam bentuk CD maupun dengan media handphone (HP) sehingga HP siswa bisa digunakan juga untuk belajar. ”Ini kami sudah menyiapkan meterinya. Minggu depan mudah-mudahan sudah bisa dinikmati sekolah yang akan mempersiapkan tahun ajaran baru,” ujar Widhi.

Dihubungi terpisah, anggota BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan) Prof Ali Saukah menambahkan, e-book ini ke depan tak akan menjadi buku pengganti. Tapi, sebagai pelengkap saja. Dengan begitu, sekolah-sekolah bisa tetap menggunakan bahan ajar lama dan melengkapi bahan dari fasilitas itu. ”Ketersediaan IT di Indonesia belum merata. Selain itu, budaya IT juga belum terbentuk,” kata Ali yang dihubungi via ponselnya kemarin.

Karena itu, lanjut guru besar Sastra Inggris Universitas Negeri Malang (UM) ini, peran buku teks cetak di negeri ini masih sangat diperlukan. ”Akses e-book memang lebih fleksibel,” tambahnya.

Disinggung soal standar buku, Ali menjelaskan, bahan ajar tersebut lebih ditekankan pada penyesuaian standar isi. Sebab, sesuai nafas KTSP (kurikulum tingkat satuan pendidikan), guru harus mengembangkan kurikulum sendiri. Finalnya, tersusun bahan ajar dengan tujuan akhir pemenuhan standar isi dan kompetensi dasar. ”KTSP hanya konsepnya. E-book ini sebagai acuan standar isi,” tandas mantan direktur program pasca sarjana UM ini.

Tak Berdampak pada Toko Buku

Johan Budhie Sava, pemilik Toko Buku Togamas mengatakan pihaknya tidak terlalu mengkhawatirkan adanya peluang akses materi buku ajar dari SD-SMA secara online di website depdiknas. Sebab, selama ini toko buku miliknya tidak pernah terpengaruh akan penjualan buku-buku sekolah.

“Setiap tahun ajaran baru, toko buku kami tidak terlalu memiliki omzet yang besar. Paling tidak, omzet bisa mencapai 10 persen saja. Ini karena buku sekolah lebih banyak didrop langsung oleh penerbit ke sekolah,” kata Johan, kemarin.

Namun demikian, Johan menyambut baik program baru pemerintah itu. Karena seluruh siswa di Indonesia mudah memeroleh buku ajar, tanpa harus terlalu mahal membeli buku pelajaran sekolah. Ia mengkhawatirkan untuk mencetak tulisan melalui printer, biayanya akan jatuh lebih mahal. Apalagi kalau nantinya akan difotokopi, pasti akan jauh lebih mahal.

Dampak dari program baru ini? Ia menganalisis akan terjadi fenomena baru, yakni banyak percetakan lokal yang memanfaatkan kondisi ini. Seperti buku cetak aturan pemerintah undang-undang, selama ini percetakan boleh mencetak dengan bebas lalu dijual sendiri, tanpa harus ke penerbit. Harganya juga murah.

Hal ini juga akan terjadi, pasca diberlakukannya aturan buku online itu. “Percetakan akan mudah mencetak dan menjualnya langsung di toko buku dan menjualnya secara bebas. Buku hasil print out percetakan bisa dijual di toko buku atau di kaki lima,” papar dia.

Senada diungkapkan oleh Subali, store manager Gramedia Basuki Rahmat. Ia mengungkapkan tidak akan terjadi dampak terlalu signifikan atas diberlakukan buku online Depdiknas. Selama ini, siswa sekolah sudah mendapatkan buku dari sekolah karena telah bekerja sama dengan penerbit. Padahal, penjualan buku oleh penerbit di sekolah merupakan perbuatan yang dilarang pemerintah. “Jadi, penjualan buku sekolah bukan utama di Gramedia sehingga dampaknya tidak terlalu berpengaruh,” ujar Subali.


Kamis, Juli 03, 2008

FGD PENDIDIKAN KESETARAAN LINTAS REGIONAL





Kegiatan Diskusi Kelompok Terfokus
Pendidikan Kesetaraaan (FGD=Focus Group Discussion) Lintas Regional di Hotel Puri Dibia Kuta Bali, Tanggal 29 Juni - 1 Juli 2008.

Peserta berasal dari :
1. BP-PNFI Regional I Medan
2. P2-PNFI Regional I Jayagiri
3. P2-PNFI Regional II Ungaran
4. BP-PNFI Regional IV Surabaya
5. BP-PNFI Regional Makassar
6. Forum Tutor Kesetaraan Prop. Bali

Selasa, Mei 06, 2008

UN, Berhala Pendidikan Nasional

Ujian nasional menjadi ritual yang begitu menakutkan. Birokrasi negara menempatkan UN sebagai upacara edukasi yang amat sakral. Seluruh guru dan siswa wajib mengikuti ujian nasional (UN). Siapa yang menentangnya pasti menghadapi kekonyolan. Mempertanyakan UN sama dengan membenturkan

kepala ke tembok. Di situlah UN menjelma sebagai berhala pendidikan yang tak memuat kebenaran sesuai situasi sosial yang melingkupinya.

Sebagai berhala pendidikan yang diyakini kebenarannya oleh negara, semua sumber keuangan, kecerdasan, bahkan keamanan harus dipasrahkan bagi UN. Tidak mengherankan bila dikatakan, UN menciptakan kekerasan struktural dalam tatanan birokratis pendidikan. Kepala sekolah mewajibkan para guru melatih kognisi siswa dengan metode drill agar siswa mahir merespons soal-soal
yang diujikan.

Dalam keadaan represif semacam itu, para guru tidak lagi berperan sebagai pendidik yang punya otoritas untuk mengajarkan dan menilai kembali kemampuan siswa. Guru tidak lebih dari tutor yang mendoktrinkan aneka strategi jitu menjawab soal-soal ujian secara efisien. Sekolah pun bertransformasi sebagai lembaga bimbingan belajar, tak lebih dari lembaga kursus.

Emansipasi sirna
Korban utama akibat UN yang represif adalah siswa. Pendidikan yang seharusnya menghadirkan emansipasi, pencerahan, dan kegembiraan sirna. Kalangan siswa dicekoki latihan. Drilling (konsep pelatihan yang hanya dikenal dalam institusi militer) menggeser learning (pembelajaran secara intensif dalam lembaga pendidikan). Semua ini terjadi akibat UN diberhalakan sebagai satu-satunya kualifikasi untuk menentukan kelulusan. Guru yang merasa kasihan jika siswanya tidak lulus dan kepala sekolah yang dibebani target kelulusan bersiasat mempraktikkan kecurangan.

Tragisnya, praktik ketidakjujuran itu diketahui aparat keamanan. Detasemen Khusus 88 Antiteror melakukan penyergapan. Kalangan pendidik terancam dipidanakan karena dinilai telah membocorkan rahasia negara.

Pantaskah aksi-aksi itu dijalankan untuk menangkap oknum pendidik? Bukankah yang menciptakan terorisme, yang bermakna menggulirkan ancaman yang menakutkan, adalah negara yang mengokohkan UN sebagai berhala pendidikan? Tragisnya, negara tidak pernah peduli jika UN sudah menjelma sebagai berhala berwatak teroristik.

Sikap keras kepala pejabat negara yang tetap menjadikan UN sebagai berhala menunjukkan bahwa mereka tidak mengerti filsafat dasar pendidikan. Harold H Titur dalam (Living Issues in Philosophy, 1995:15) mengatakan, filsafat pendidikan adalah penerapan posisi-posisi filosofis secara umum pada persoalan pokok pendidikan, yaitu (1) tujuan dasar dan sasaran spesifik pendidikan; (2) metode pengajaran dan belajar; dan (3) kurikulum.

Ketika UN dijadikan kualifikasi absolut kelulusan, persoalan manakah yang berhasil dijawabnya? Boleh jadi hanya pada problem kurikulum. Ironisnya, kurikulum merupakan persoalan tersier dalam pendidikan. Artinya, negara menyangkal sendiri filsafat pendidikan saat dengan berbusa-busa menegaskan tujuan pendidikan adalah "mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa".

Tujuan mulia itu hanya dapat diterapkan jika negara memahami masalah utama pedagogi, seperti kualitas pendidik, kondisi sosial-ekonomi siswa, proses belajar-mengajar, dan ketersediaan sarana edukasi yang memadai.


Sumber ketidakmengertian

Mengapa banyak pejabat negara menunjukkan watak keras kepala sehingga tetap menjadikan UN sebagai kebenaran tunggal yang tidak boleh disangkal ?

Jawabannya, ketika suatu kebijakan telah diberhalakan, para penentu juga dikuasai aneka berhala pemikiran. Merujuk pemikiran Francis Bacon (1561-1626), berhala dalam hal ini merupakan tipuan potensial atau sumber ketidakmengertian yang menyelubungi dan mengacaukan pengetahuan kita terhadap kenyataan eksternal. Ada empat jenis berhala yang berkuasa.

Pertama, berhala suku, yang berarti kelemahan dan kecenderungan yang secara alamiah ada dalam diri
manusia. Contohnya, pikiran penuh harap karena manusia bertendensi menerima, meyakini, dan membuktikan hal yang lebih disukai sebagai kebenaran.

Kedua, berhala gua yang ditunjukkan distorsi, prasangka, dan keyakinan akibat latar belakang
keluarga, pengalaman, kelas sosial, dan sebagainya.

Ketiga, berhala arena pasar yang muncul dari kerja sama dan perpaduan antarmanusia, seperti kosakata dan jargon-jargon dari komunitas akademis dan disiplin ilmu tertentu.

Keempat, berhala drama yang merefleksikan peniruan kebenaran artifisial yang berasal dari gagasan yang dipenuhi takhayul.

Pemberhalaan UN menunjukkan betapa para penentu kebijakan hanya melandaskan pada kepentingan
preferensi sepihak. Selain itu, penerapan UN yang bersifat absolut didasarkan pengalaman partikular
pejabat, slogan akademis dari disiplin ilmu tertentu, dan gagasan yang tidak sudi membuka terhadap kebenaran alternatif.

Sebagai berhala, UN menuntut pengorbanan, entah kecurangan, pemidanaan, atau kecemasan yang menghardik kewarasan.

Sumber :

www.Kompas,com

By. Triyono Lukmantoro Pengajar Filsafat Ilmu pada Jurusan
Ilmu Komunikasi FISIP Undip Semarang

Selasa, April 29, 2008

“KUALITAS PENDIDIKAN TERBAIK DI DUNIA”

Tahukah Anda negara mana yang kualitas pendidikannya menduduki peringkat pertama di dunia? Kalau Anda tidak tahu, tidak mengapa karena memang banyak yang tidak tahu bahwa peringkat pertama untuk kualitas pendidikan adalah Finlandia. Kualitas pendidikan di negara dengan ibukota Helsinki, dimana perjanjian damai dengan GAM dirundingkan, ini memang begitu luar biasa sehingga membuat iri semua guru di seluruh dunia.

Peringkat I dunia ini diperoleh Finlandia berdasarkan hasil survei internasional yang komprehensif pada tahun 2003 oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). Tes tersebut dikenal dengan nama PISA mengukur kemampuan siswa di bidang Sains, Membaca, dan juga Matematika. Hebatnya, Finlandia bukan hanya unggul secara akademis tapi juga menunjukkan unggul dalam pendidikan anak-anak lemah mental. Ringkasnya, Finlandia berhasil membuat semua siswanya cerdas. Lantas apa kuncinya sehingga Finlandia menjadi Top No 1 dunia? Dalam masalah anggaran pendidikan Finlandia memang sedikit lebih tinggi dibandingkan rata-rata negara di Eropa tapi masih kalah dengan beberapa negara lainnya.

Finlandia tidaklah mengenjot siswanya dengan menambah jam-jam belajar, memberi beban PR tambahan, menerapkan disiplin tentara, atau memborbardir siswa dengan berbagai tes. Sebaliknya, siswa di Finlandia mulai sekolah pada usia yang agak lambat dibandingkan dengan negara-negara lain, yaitu pada usia 7 tahun, dan jam sekolah mereka justru lebih sedikit, yaitu hanya 30 jam perminggu. Bandingkan dengan Korea, ranking kedua setelah Finnlandia, yang siswanya menghabiskan 50 jam perminggu

Lalu apa dong kuncinya? Ternyata kuncinya memang terletak pada kualitas gurunya. Guru-guru Finlandia boleh dikata adalah guru-guru dengan kualitas terbaik dengan pelatihan terbaik pula. Profesi guru sendiri adalah profesi yang sangat dihargai, meski gaji mereka tidaklah fantastis. Lulusan sekolah menengah terbaik biasanya justru mendaftar untuk dapat masuk di sekolah-sekolah pendidikan dan hanya 1 dari 7 pelamar yang bisa diterima, lebih ketat persaingainnya ketimbang masuk ke fakultas bergengsi lainnya seperti fakultas hukum dan kedokteran! Bandingkan dengan Indonesia yang guru-gurunya dipasok oleh siswa dengan kualitas seadanya dan dididik oleh perguruan tinggi dengan kualitas seadanya pula.

Dengan kualitas mahasiswa yang baik dan pendidikan dan pelatihan guru yang berkualitas tinggi tak salah jika kemudian mereka dapat menjadi guru-guru dengan kualitas yang tinggi pula. Dengan kompetensi tersebut mereka bebas untuk menggunakan metode kelas apapun yang mereka suka, dengan kurikulum yang mereka rancang sendiri, dan buku teks yang mereka pilih sendiri. Jika negara-negara lain percaya bahwa ujian dan evaluasi bagi siswa merupakan bagian yang sangat penting bagi kualitas pendidikan, mereka justru percaya bahwa ujian dan testing itulah yang menghancurkan tujuan belajar siswa.

Terlalu banyak testing membuat kita cenderung mengajar siswa untuk lolos ujian, ungkap seorang guru di Finlandia. Padahal banyak aspek dalam pendidikan yang tidak bisa diukur dengan ujian. Pada usia 18 th siswa mengambil ujian untuk mengetahui kualifikasi mereka di perguruan tinggi dan dua pertiga lulusan melanjutkan ke perguruan tinggi.

Siswa diajar untuk mengevaluasi dirinya sendiri, bahkan sejak Pra-TK! Ini membantu siswa belajar bertanggungjawab atas pekerjaan mereka sendiri, kata Sundstrom, kepala sekolah di SD Poikkilaakso, Finlandia. Dan kalau mereka bertanggungjawab mereka akan bekeja lebih bebas.Guru tidak harus selalu mengontrol mereka.

Siswa didorong untuk bekerja secara independen dengan berusaha mencari sendiri informasi yang mereka butuhkan. Siswa belajar lebih banyak jika mereka mencari sendiri informasi yang mereka butuhkan. Kita tidak belajar apa-apa kalau kita tinggal menuliskan apa yang dikatakan oleh guru.

Disini guru tidak mengajar dengan metode ceramah, Kata Tuomas Siltala, salah seorang siswa sekolah menengah. Suasana sekolah sangat santai dan fleksibel. Terlalu banyak komando hanya akan menghasilkan rasa tertekan dan belajar menjadi tidak menyenangkan, sambungnya.

Siswa yang lambat mendapat dukungan yang intensif. Hal ini juga yang membuat Finlandia sukses. Berdasarkan penemuan PISA, sekolah-sekolah di Finlandia sangat kecil perbedaan antara siswa yang berprestasi baik dan yang buruk dan merupakan yang terbaik menurut OECD.

Remedial tidaklah dianggap sebagai tanda kegagalan tapi sebagai kesempatan untuk memperbaiki. Seorang guru yang bertugas menangani masalah belajar dan prilaku siswa membuat program individual bagi setiap siswa dengan penekanan tujuan-tujuan yang harus dicapai, umpamanya: Pertama, masuk kelas; kemudian datang tepat waktu; berikutnya, bawa buku, dlsb. Kalau mendapat PR siswa bahkan tidak perlu untuk menjawab dengan benar, yang penting mereka berusaha.

Para guru sangat menghindari kritik terhadap pekerjaan siswa mereka. Menurut mereka, jika kita mengatakan "Kamu salah" pada siswa, maka hal tersebut akan membuat siswa malu. Dan jika mereka malu maka ini akan menghambat mereka dalam belajar.

Setiap siswa diperbolehkan melakukan kesalahan. Mereka hanya diminta membandingkan hasil mereka dengan nilai sebelumnya, dan tidak dengan siswa lainnya. Jadi tidak ada sistem ranking-rankingan. Setiap siswa diharapkan agar bangga terhadap dirinya masing-masing.

Ranking-rankingan hanya membuat guru memfokuskan diri pada segelintir siswa tertentu yang dianggap terbaik di kelasnya. Kehebatan sistem pendidikan di Finlandia adalah gabungan antara kompetensi guru yang tinggi, kesabaran, toleransi dan komitmen pada keberhasilan melalui tanggung jawab pribadi. Kalau saya gagal dalam mengajar seorang siswa, kata seorang guru, maka itu berarti ada yang tidak beres dengan pengajaran saya! Benar-benar ucapan guru yang sangat bertanggungjawab.

Diambil dari Top of the Class - Fergus Bordewich
Original message: 1001Buku.org

Jumat, April 11, 2008

MODEL PEMBELAJARAN JARAK JAUH BERBASIS TV KABEL


Proses pembelajaran pada pendidikan jarak jauh (Distance Learning) disini yaitu tutor memberikan / mengajarkan materi-materi pelajaran secara konvensional kemudian direkam dan disiarkan langsung melalui jaringan tv kabel, maka secara otomatis proses pembelajaran di studio/labsite ini dapat disaksikan oleh warga belajar / kelompok belajar / masyarakat melalui televisi yang telah dipasangkan jaringan televisi kabel ke masing-masing tempat.

Sebagai interaksi antara warga belajar dan tutor, siswa dapat mengirim pertanyaan-pertanyaan mengenai materi pembelajaran kepada tutor melalui SMS atau telpon PTSN/GSM, sehingga tutor dapat membalas/menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut melalui langsung melalui siaran langsung televisi kabel tersebut.

Di dalam Proses pembelajaran ini dapat terjadi interaksi antara warga belajar / kelompok belajar / masyarakat di rumah dan tutor di studio/labsite dengan menggunakan jasa moderator atau pembawa acara, sehingga komunikasi 2 arah dalam proses pembelajaran jarak jauh ini tetap dapat tercapai.

Jika ada warga belajar yang tidak dapat mengikuti proses pembelajaran karena sesuatu hal, maka warga belajar dapat mengikuti proses pembelajaran ini pada saat penayangan ulang / siaran ulang dari rekaman proses pembelajaran disini.

Demikianlah proses singkat sistem pembelajaran jarak jauh (distance learning) berbasid ict (televisi kabel optik) pada sebuah penyelenggaraan pendidikan, sebagai proses awal dari sebuah sistem pembelajaran jarak jauh (distance learning) ini, akan akan efektif apabila, warga belajar dan tutor/pendidik jadwal materi pembelajaran yang akan disiarkan pada saat itu, sehingg warga belajar / kelompok belajar / masyarakat dapat mempersiapkan kelengkapan-kelengkapan dari materi tersebut, seperti buku-buku pelajaran, literatur, dan bahan-bahan lainnya yang berhubungan dengan materi tersebut.

Dan yang tak kalah pentingnya dalam hal ini yaitu pemberian informasi awal kepada warga belajar / kelompok belajar / masyarakat berupa running text (text berjalan) bahwa akan proses pembelajaran pada waktu-waktu yang telah ditentukan, sehingga warga belajar / kelompok belajar / masyarakat dapat mengatur jadwal proses pembelajaran ini dengan segala aktifitas warga belajar / kelompok belajar / masyarakat itu sendiri.

Kamis, April 10, 2008

Sekolah Rumah (Home Schooling)


Homeschooling (sekolah rumah) saat ini mulai menjadi salah satu pilihan orang tua dalam mendidik anak-anaknya. Pilihan ini terutama disebabkan oleh adanya pandangan atau penilaian orang tua tentang kesesuaian bagi anak-anaknya. Bisa juga karena orang tua merasa lebih siap untuk menyelenggarakan pendidikan bagi anak-anaknya di rumah. Ini banyak dilakukan di kota-kota besar, terutama oleh mereka yang pernah melakukannya ketika berada di luar negeri.

Sekolah rumah, menurut Ella Yulaelawati, direktur Pendidikan Kesetaraan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), adalah proses layanan pendidikan yang secara sadar, teratur dan terarah dilakukan oleh orang tua atau keluarga di mana proses belajar mengajar berlangsung dalam suasana yang kondusif.

Tujuannya agar setiap potensi anak yang unik dapat berkembang secara maksimal. Rumusan yang sama dikemukakan oleh Dr Seto Mulyadi, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, saat keduanya tampil berbicara dalam sebuah seminar di Jakarta, Sabtu (22/7) lalu.

Pembelajaran kreatif

Ella mengakui, ada beberapa alasan orang tua di Indonesia memilih sekolah rumah. Antara lain, dapat menyediakan pendidikan moral atau keagamaan, memberikan lingkungan sosial dan suasana belajar yang baik, dan dapat memberikan pembelajaran langsung yang konstekstual, tematik, nonskolastik yang tidak tersekat-sekat oleh batasan ilmu.

Menurut Seto, sekolah rumah memiliki keunggulan karena bimbingan dan layanan pengajaran dilakukan secara individual. Proses pembelajaran lebih bermakna karena terintegrasi dengan aktivitas sehari-hari. Lebih dari itu, waktunya pun lebih fleksibel karena dapat disesuaikan dengan kesiapan anak dan orang tua.

Seto mengatakan, menyelenggarakan sekolah rumah menuntut kemauan orang tua untuk belajar, menciptakan pembelajaran yang kreatif dan menyenangkan, dan memelihara minat dan antusias belajar anak. Sekolah rumah juga memerlukan kesabaran orangtua, kerja sama antaranggota keluarga, dan konsisten dalam penanaman kebiasaan.

Seto menampik sejumlah mitos yang dinilainya keliru tentang homeschooling selama ini. Misalnya, anak kurang bersosialisasi, orang tua tidak bisa menjadi guru, orang tua harus tahu segalanya, orang tua harus meluangkan waktu 8 jam sehari, waktu belajar tidak sebanyak waktu belajar sekolah formal, anak tidak terbiasa disiplin dan seenaknya sendiri, tidak bisa mendapatkan ijazah dan pindah jalur ke sekolah formal, tidak mampu berkompetisi, dan homeschooling mahal. `’Itu keliru,” ucapnya.

Teman belajar

Lalu, apa yang yang perlu diperhatikan oleh orang tua dalam menyelenggarakan sekolah rumah? Seto mengatakan, orang tua harus menjadikan anak sebagai teman belajar dan menempatkan diri sebagai fasilitator. `’Orang tua harus memahami bahwa anak bukan orang dewasa mini,” tuturnya.

Anak, kata Seto, perlu bermain. Itu yang perlu dipahami oleh orang tua. Karena itu pula, orang tua tidak boleh arogan dengan menempatkan diri sebagai guru, tapi belajar bersama. Kalau tidak siap dengan itu, menurut Seto, lebih baik jangan menyelenggarakan sekolah rumah.

Orang tua, kata Seto lagi, tetap perlu terus menambah pengetahuan. Tidak mesti menguasai semua jenis ilmu. Yang penting, memiliki pemahaman tentang anak. Bila orang tua kurang mengerti pelajaran biologi atau matematika, misalnya, orang tua bisa mendatangkan guru untuk pelajaran tersebut dan belajar bersama anak. Dengan demikian, anak akan merasa tidak lebih rendah, tapi sebagai sahabat dalam belajar.

Bagaimana dengan kedua orang tua yang bekerja sehingga merasa tidak punya waktu untuk memberikan pembelajaran kepada anak dalam menyelenggarakan homeschooling? Seto mengatakan, itu tidak boleh menjadi alasan.

Sesibuk apa pun orang tua, tetap harus punya waktu untuk anak. `’Kalau tidak punya waktu, jangan punya anak,” ucap psikolog yang juga menyelenggarakan homeschooling bagi anak sulungnya itu.

Pembelajaran sekolah rumah sebaiknya menyesuaikan dengan standar kompetensi yang telah ditentukan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Ini agar sejalan dengan pertumbuan dan kemampuan anak, di samping dapat diikutkan dalam evaluasi dan ujian yang diselenggarakan secara nasional. Standar kompetensi menjadi panduan yang harus dimiliki seorang anak pada kelas tertentu. Anak kelas VI SD atau setara, misalnya, minimal sudah harus menguasai pelajaran matematika sampai batas tertentu pula. Standar kompetensi ini, kata Seto, dapat diperoleh di Dinas Pendidikan yang ada di daerah masing-masing.

Evaluasi bagi anak yang mengikuti homeschooling dapat dilakukan dengan mengikutkan pada ujian Paket A yang setara dengan SD atau Paket B setara SMP. Pada dasarnya, kata Seto, dapat pula dilakukan dengan menginduk ke sekolah formal yang ada untuk proses evaluasi. Menurut dia, harusnya ini bisa dilakukan karena sekolah rumah bukan sekolah liar. Homeschooling seusai dengan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). (-bur)

Sumber : Republika