Selasa, Juli 29, 2008

KPAI nilai UN/UASBN melanggar UUD 1945



Sumber : Harian Terbit

JAKARTA - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai pelaksanaan ujian nasional (UN) dan ujian akhir sekolah berstandar nasional (UASBN) melanggar Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan Undang-Undang Perlindungan Anak. Karena itu, KPAI minta kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar mulai 2009 tidak ada lagi pelaksanaan UN dan UASBN.

Demikian ditegaskan Sekretaris Komisi Perlindungan Anak Indonesia Hadi Supeno dalam peluncuran 'Pos Penyampaian Aspirasi dan Pengaduan Masalah UN dan UASBN' yang dihadiri sejumlah lembaga swadaya masyarakat peduli pendidikan, stakeholder pendidikan, seperti guru, pengamat dan praktisi pendidikan dan siswa SDN 01 Tanah Sereal di Kantor KPAI, Senin [26/5].

"Dari aspek yuridis UN-UASBN bertentangan dengan UUD 1945 dan UU Perlindungan Anak yang telah menekan kebebasan ekspresi anak. Bahkan, melanggar sendiri kebijakan pemerintah tentang wajib belajar pendidikan dasar (SD/SMP) sembilan ta-hun. Penilaian KPAI ini setelah mengkaji dan melakukan roadshow ke sejumlah daerah di Indonesia," tandas Hadi Supeno.

KPAI juga menilai sistem UN-UASBN telah membuka terjadinya pembohongan yang dilakukan para guru dan pelaksana pendidikan serta terjadi ketidakadilan cultural. Sebab, UN-UASBN tidak senafas dengan perbedaan kondisi anak baik secara natural, status sosial-ekonomi satu anak dengan anak lain dan satu daerah dengan daerah lain.

Menurut dia, dari aspek akademik dan pedagogic, pendidikan adalah sebuah proses dan setiap anak memiliki potensi diri dan talenta masing-masing. UN-UASBN yang hanya memasukan mata pelajaran tertentu, tapi menjadi vonis seorang siswa lulus atau tidak llus dari suatu lembaga pendidikan.

"UN-UASBN telah meng-ubah sekolah bukan sebagai lembaga pendidikan, tapi lembaga pelatihan untuk menghadapi ujian. Hal ini bertentangan dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Karena itu, pelaksanaan UN-UASBN menunjukan tidak komitmennya mendiknas terhadap program wajar sembilan tahun," jelasnya.

Di sisi lain, tambahnya, di berbagai daerah bermunculan tindakan kecurangan yang dilakukan guru sebagai ekspresi tekanan yang sangat kuat terhadap para guru. (mya)

Jumat, Juli 11, 2008

Sekolah : Untuk Membentuk atau Dibentuk ?

Nanti ketika anak-anak itu merayakan kelulusannya dengan corat-coret baju dan coreng-moreng wajah, kebahagiaan macam apakah yang mereka rasakan?

Lulus dengan mencontek, yang kuncinya disediakan oleh guru. Lulus karena koreksi jawaban oleh guru. Lulus karena formula penilaian diubah oleh birokrat pendidikan agar mengangkat yang bernilai rendah.

Bayangkan, untuk mencontek pun anak-anak itu tidak punya langkah kreatif, tetapi tinggal memanfaatkan kreativitas guru yang berawal dari operasi subuh.

Akan tetapi percayalah, ada saja murid, sekelas pula, yang ogah mencontek. Seorang guru SMP negeri di Jakarta Timur, yang pernah menjadi pengawas ujian di sekolah “luar negeri” (pinjam istilah Alix artinya “swasta”) yang kebetulan berkualitas abal-abal, jadi bingung ketika tawaran kepada peserta untuk mencontek temannya tak diacuhkan.

“Mau mencontek apa dari siapa, wong sekelas nggak ada yang bisa njawab soal bahasa Inggris itu,” kata Pak Guru asal Klaten itu. Hal sama berlaku untuk matematika.

Kemudian penyerbuan satuan antiteror ke sebuah ruang guru hanyalah bagian dari kemelut pendidikan di negeri ini. Sebuah pedagogi absurd telah dipamerkan, melengkapi keanehan rutin: ujian sekolah yang dijaga polisi, seolah lebih berbahaya ketimbang konser paling rusuh.

Penyerbuan eksesif itu menegaskan satu hal. Sekolah sedang disandera oleh kemuliaan sistem pendidikan yang ajaib.Tapi penyerbuan itu bukan untuk membebaskan melainkan untuk menambah kekusutan. Securang-curangnya guru, mereka bukanlah teroris sasaran Detasemen Khusus 88.

Semua ilustrasi tadi melengkapi kasus Air Mata Guru, ketika para pendidik yang menguak skandal kecurangan malah disingkirkan oleh korpsnya sendiri.

Betulkah hanya sekolah yang tersandera? Tidak. Seluruh masyarakat kita. Termasuk anggota satuan itu di luar tugasnya, karena mereka juga orangtua murid.

Ujian sekolah, mau namanya Ebtanas, mau UAN, entah apa, hanyalah pemulus agar setiap siswa lulus.

Ketidaklulusan berarti aib bagi murid, orangtua murid, guru, sekolah, dan birokrat pendidikan. Bukan hanya aib melainkan juga palu kutukan. Nestapa — berupa amuk murid gagal uji — hanyalah bonus.

" Pertanyaan kita adalah: lembaga pendidikan itu untuk membentuk masyarakat atau sekadar mengesahkan apa yang berlangsung nyata meski tak ideal dalam kehidupan " ?

SIM boleh beli. IMB boleh kongkalingkong. Tabung gas murah untuk rakyat bawah jatuh ke warga yang mampu beli dua tabung reguler. Selebihnya silakan Anda tambah sendiri.

Kita kadung demen mengabaikan standar. Segala hal bisa dikompromikan atas nama semangat kekeluargaan. Begitu kacaunya standardisasi sehingga pada abad lalu bisa terjadi status sekolah swasta yang bagus “disamakan” dengan sekolah negeri yang jelek.

Celakanya, sekolah bukanlah lembaga asing dari planet luar. Sekolah yang berisi guru, murid, orangtua murid, dan birokrat pendidikan, adalah bagian masyarakat nyata.

sumber : dagdigdug.com

Jumat, Juli 11, 2008

Menuju Kualifikasi Khusus PTK-PNF


Peraturan Pemerintah Nomor 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan telah mengamanahkan bahwa Pendidik dan Tenaga Kependidikan baik formal maupun nonformal minimal kualifikasinya strata satu (S1), walau demikian untuk mencapainya diberikan batasan waktu 10 tahun.

Dalam PP 19/2005 di pasal 29 jelas disebutkan bahwa untuk Pendidik baik PAUD atau yang sederajat, SD/MI atau yang sederajat, SMP/MTS atau yang sederajat, SMA/MA atau yang sederajat jelas disebutkan bahwa kualifikasi mereka minimum D-IV atau S1. Berkenaan dengan hal tersebut jelas bahwa Direktorat PTK-PNF selaku instansi Pemeritah sebagai memangku amanat PP tersebut untuk dapat membuat semua PTK-PNF dengan kualifikasi S1.

PTK-PNF saat ini secara agregat sejumlah ± 1,7 juta orang (sumber: Dittentis, 2004), sedangkan data PTK-PNF per individu yang berhasil terkumpulkan sejumlah 107 ribu orang (sumber: Dit. PTK-PNF, 2008). Dalam pemaparannya berulangkali Erman Syamsuddin mengatakan bahwa dari seluruh PTK-PNF baru sekitar 10% yang kualifikasinya sudah memenuhi standar sesuai dengan PP 19, sisanya masih menjadi tugas dari Dit. PTK-PNF serta masyarakat pemerhati pendidikan nonformal.

Khusus untuk Pamong Belajar dan Penilik yang sudah memenuhi kualifikasi sesungguhnya sudah cukup baik, untuk Pamong Belajar sudah 72 % yang S1 dari 3210 orang (sumber: Data Dittentis 2004) dan Penilik hampir 37 % yang lulus S1 dari 6733 orang (sumber: Data Dittentis 2004). Namun tidak begitu halnya PTK-PNF lainnya seperti Pendidik PAUD, Instruktur Kursus, Tutor dan Pengelola Satuan Pendidikan, datanya semuanya masih jauh dari yang diharapkan.

Sebagai gambaran khusus untuk Pendidik PAUD saat ini kebanyakan adalah bukan tenaga-tenaga profesional seperti yang diharapkan, bahkan kebanyakan adalah wanita-wanita yang lulusan dari SMP atau SMA, begitu juga dengan Tutor kesetaraan kebanyakan berasal dari Guru pada pendidikan formal, Lain lagi dengan tutor kesetaraan yang banyak berasal dari organisasi masyarakat. Keragaman PTK-PNF ini serta tugas pokok dan fungsinya terlebih lagi dengan sasarannya yang begitu beragam dan dinamis membuat pendidikan nonformal membutuhkan metode khusus dalam penanganannya.

Demi melaksanakan PP 19/2005, dengan memberikan beasiswa atau bantuan pendidikan kepada PTK-PNF dirasakan amat mahal biayanya. Dapat dibayangkan apabila per semester untuk S1 diberika dana sekitar 1,8 juta per orang, untuk S2 sejumlah 2,5 juta per orang atau S2 sejumlah 3 juta per orang. Maka pertahun untuk S1 sebesar 21 juta atau selama lulus (5 tahun) berkisar hampir 105 juta, sedangkan untuk S2 pertahun berkisar 30 juta atau selama lulus berkisar 150 juta dan S3 berkisar 36 juta pertahun atau selama lulus 180 juta. Sebuah biaya yang amat mahal. Bisa dihitung untuk dapat mengangkat semua PTK-PNF menjadi S1 yang per orang membutuhkan anggaran 105 juta menjadi amat sangat mahal harganya, 10 orang saja sudah 1 M harganya. Apalagi jika harus me S1 kan 1,7 juta orang PTK-PNF, sungguh sebuah harga yang amat mahal sekali.

Oleh sebab itu, salah satu strategi dari Direktorat adalah dengan menggunakan sistem konversi, sebuah konsep yang ingin mengkonversikan diklat yang dilakukan untuk pengembangan kompetensi PTK-PNF (Diklat Profesi) sehingga dapat diakui menjadi SKS dalam dunia akademisi. Oleh karena itu perlu dicarikan sebuah model diklat yang sudah dikaji dari sisi akademik, legalitas, pengintegrasian dengan kurikulum program studi yang dilakukan dan lain sebagainya.

Saat ini Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi telah berupaya meningkatkan kualitas dari lulusan Perguruan Tinggi dengan berbagai cara, antara lain dengan menetapkan akreditasi bagi setiap Perguruan Tinggi Negeri maupun Swasta. Sudah barang tentu ini berpengaruh kepada standar kelulusan setiap mahasiswa, kurikulum yang digunakan, kualitas dosen, jam belajar, dan lain sebagainya. Maka model diklat konversi yang digunakan harus betul-betul dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.

Menindaklanjuti hal tersebut Direktorat PTK-PNF melakukan kerjasama dengan 4 (empat) LPTK terpilih untuk masing-masing model diklat sesuai dengan kajian mereka masing-masing yang tertuang dalam proposal programnya dalam melakukan program rintisan yang diberinama “Konversi Hasil Diklat ke SKS”, awal rintisan ini dilakukan kerjasama dengan 4 (empat) Perguruan Tinggi yaitu Universitas Negeri Yogjakarta (UNY), Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Universitas Negeri Makassar (UNM) dan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).

UNJ dalam kerjasamanya mengkhususkan untuk pembahasan dan penelitisan bagi model diklat yang akan dilakukan terhadap Tutor PAUD, Tutor Kesetaraan dan Tutor Keaksaraan guna mendukung sistem konversi ini. Hal yang dilakukan berupa kajian-kajian teoritik model diklat, pembuatan rancangan model diklat, pambahasan rancangan tersebut dan penyusunan langkah dalam pelaksanaan model tersebut. UNM dalam merealisasikan program tersebut lebih mengena ke substansi dengan melakukan diklat menjadi 3 (tiga) tahapan yaitu tahapan pertama untuk 5 (lima) hari, melakukan pembelajaran materi teoritis dan praktek terbatas dalam kelas. Tahap kedua selama 52 hari, belajar mandiri disertai bimbingan teknis dari fasilitator, dan tahap terakhir selama 3 hari, presentasi hasil dari tugas mandiri. Kesemuanya bahkan dihargai sebanyak 8 SKS untuk 480 jam pelajaran dalam 9 materi pelajaran yang sudah terbagi dari tahapan-tahapan tersebut. UNY mendiklatkan 35 orang tutor pendidikan kesetaraan untuk selama 9 minggu atau 144 jam yang setara dengan 12 SKS. Lain lagi dengan UPI yang melakukan diklat untuk 30 tutor pendidik PAUD. Hasil dari yang dikerjakan oleh keempat LPTK ini diharapkan dapat menjadi model diklat untuk konversi bagi bagi LPTK-LPTK yang lain kedepannya.

Namun, hal penting yang perlu diperhatikan adalah bahwa sesungguhnya pengembangan pendidikan nonformal itu berbeda dengan pendidikan formal, pendidikan nonformal bersifat lebih fleksibel dan dinamis. Terbukti ketika Direktorat PTK-PNF menawarkan program beasiswa kepada seluruh PTK-PNF pada tahun 2007, ternyata hamir 8% dari 370 orang yang mengembalikan beasiswanya kepada negara dengan alasan bahwa dana yang didapatkan dari beasiswa tidak mencukupi kehidupan mereka, ini amat berbeda dengan apa yang terjadi di pendidikan formal yang kebanyakan berasal dari PNS, sehingga mereka mempunyai gaji yang tetap dan jelas. Perlu juga diingat bahwa bagi pendidikan nonformal yang terpenting itu bukan kualifikasi akan tetapi kompetensi, karena pendidikan nonformal itu sesungguhnya lebih menyentuh langsung kepada masyarakat, sesuai dengan kebutuhan masyarakat atau apa yang diinginkan masyarakat serta pengakuan dari masyarakat.

Kedepan nantinya diharapkan setiap sumbangsih apapun yang dilakukan terhadap masyarakat oleh PTK-PNF bisa dihargai secara akademis, tentunya setelah memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah diakui oleh Perguruan Tinggi. Ini mungkin lebih baik bagi PTK-PNF dibandingkan mereka harus mengikuti perkuliahan yang bersifat konvensional seperti beasiswa.

Sumber : Jugaguru.com (Situs Dit. PTK PNF)

Kamis, Juli 03, 2008

Buku Pelajaran Digratiskan Depdiknas, Tahap Awal 49 Buku, Agustus 200 Buku

Siswa-siswi SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK bakal tak kesulitan lagi mendapatkan buku-buku pelajaran sekolah. Mereka pun bisa mendapatkan 200 buku pelajaran secara cuma-cuma dengan mengunduh (download) di situs Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas).

Kemudahan itu bisa terwujud setelah Senin (23/6) kemarin Depdiknas meluncurkan program buku pelajaran murah untuk siswa. Buku dalam bentuk elektronik (e-book) ini diberikan secara cuma-cuma pada seluruh siswa dan masyarakat karena hak ciptanya sudah dibeli seluruhnya oleh pemerintah. Namanya buku sekolah elektronik (BSE).

Dalam rilis Depdiknas yang didapat Radar kemarin, Mendiknas Bambang Sudibyo menegaskan, buku teks pelajaran murah yang diluncurkan itu sudah dibeli hak ciptanya dari penulisnya oleh Depdiknas. Sehingga, siswa dan masyarakat bisa memilikinya tanpa izin dari penulisnya.

”Untuk tahap pertama ini ada 49 buku yang sudah dibeli hak ciptanya oleh Depdiknas. Sampai Agustus 2008, kami menargetkan akan membeli 200 buku pelajaran SD-SMA,” jelas Bambang usai Sosialisasi Buku Teks Pelajaran dan Sistem Informasi Manajemen Keuangan di Gedung Depdiknas, Jakarta, kemarin.

Buku-buku itu, jelas Bambang, sudah memenuhi standar pendidikan nasional. Kelayakannya sudah dinilai oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Sehingga, konten dan keabsahannya sudah tidak usah diragukan lagi.

Bagaimana mendapatkan buku-buku itu? Buku-buku yang disediakan Depdiknas itu bisa diambil secara gratis oleh siswa dan masyarakat di situs http://bse.depdiknas.go.id. Dalam situs itu siswa bisa membaca langsung e-book yang disediakan. Atau jika ingin download bisa langsung dilakukan dengan mengisi persyaratan yang dibutuhkan administrator situs tersebut.

Buku-buku yang bisa di-download dan dibaca di situs tersebut untuk sementara hanya sekitar 49 buku SD-SMA mata pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, ilmu sosial. Buku-buku itu untuk kelas 1-6 SD sederajat, kelas 7-9 SMP sederajat, dan kelas 10-12 SMA sederajat.

Cara lain, selain akses langsung dengan situs tersebut, dalam waktu dekat ini sejumlah lembaga akan membuat seri e-book mata pelajaran yang ada dalam situs tersebut. Depdiknas bersama lembaga-lembaga ini akan bersama-sama menyosialisasikan buku murah itu dalam keping CD.

”Dalam sosialisasi Depdiknas, lembaga independen diminta membantu sosialisasi ini. Khususnya untuk memberikan kemudahan siswa mendapatkan akses buku murah,” ujar Pitoyo Widhi Atmoko, direktur Edu Media Nusantara, yang menjadi salah satu partner Depdiknas dalam menyosialisasikan ICT for Education, saat dihubungi via ponselnya kemarin.

Untuk sasaran sosialisasi, lembaga partner Depdiknas akan menyebarkan ke seluruh sekolah SD-SMA. Baik dalam bentuk CD maupun dengan media handphone (HP) sehingga HP siswa bisa digunakan juga untuk belajar. ”Ini kami sudah menyiapkan meterinya. Minggu depan mudah-mudahan sudah bisa dinikmati sekolah yang akan mempersiapkan tahun ajaran baru,” ujar Widhi.

Dihubungi terpisah, anggota BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan) Prof Ali Saukah menambahkan, e-book ini ke depan tak akan menjadi buku pengganti. Tapi, sebagai pelengkap saja. Dengan begitu, sekolah-sekolah bisa tetap menggunakan bahan ajar lama dan melengkapi bahan dari fasilitas itu. ”Ketersediaan IT di Indonesia belum merata. Selain itu, budaya IT juga belum terbentuk,” kata Ali yang dihubungi via ponselnya kemarin.

Karena itu, lanjut guru besar Sastra Inggris Universitas Negeri Malang (UM) ini, peran buku teks cetak di negeri ini masih sangat diperlukan. ”Akses e-book memang lebih fleksibel,” tambahnya.

Disinggung soal standar buku, Ali menjelaskan, bahan ajar tersebut lebih ditekankan pada penyesuaian standar isi. Sebab, sesuai nafas KTSP (kurikulum tingkat satuan pendidikan), guru harus mengembangkan kurikulum sendiri. Finalnya, tersusun bahan ajar dengan tujuan akhir pemenuhan standar isi dan kompetensi dasar. ”KTSP hanya konsepnya. E-book ini sebagai acuan standar isi,” tandas mantan direktur program pasca sarjana UM ini.

Tak Berdampak pada Toko Buku

Johan Budhie Sava, pemilik Toko Buku Togamas mengatakan pihaknya tidak terlalu mengkhawatirkan adanya peluang akses materi buku ajar dari SD-SMA secara online di website depdiknas. Sebab, selama ini toko buku miliknya tidak pernah terpengaruh akan penjualan buku-buku sekolah.

“Setiap tahun ajaran baru, toko buku kami tidak terlalu memiliki omzet yang besar. Paling tidak, omzet bisa mencapai 10 persen saja. Ini karena buku sekolah lebih banyak didrop langsung oleh penerbit ke sekolah,” kata Johan, kemarin.

Namun demikian, Johan menyambut baik program baru pemerintah itu. Karena seluruh siswa di Indonesia mudah memeroleh buku ajar, tanpa harus terlalu mahal membeli buku pelajaran sekolah. Ia mengkhawatirkan untuk mencetak tulisan melalui printer, biayanya akan jatuh lebih mahal. Apalagi kalau nantinya akan difotokopi, pasti akan jauh lebih mahal.

Dampak dari program baru ini? Ia menganalisis akan terjadi fenomena baru, yakni banyak percetakan lokal yang memanfaatkan kondisi ini. Seperti buku cetak aturan pemerintah undang-undang, selama ini percetakan boleh mencetak dengan bebas lalu dijual sendiri, tanpa harus ke penerbit. Harganya juga murah.

Hal ini juga akan terjadi, pasca diberlakukannya aturan buku online itu. “Percetakan akan mudah mencetak dan menjualnya langsung di toko buku dan menjualnya secara bebas. Buku hasil print out percetakan bisa dijual di toko buku atau di kaki lima,” papar dia.

Senada diungkapkan oleh Subali, store manager Gramedia Basuki Rahmat. Ia mengungkapkan tidak akan terjadi dampak terlalu signifikan atas diberlakukan buku online Depdiknas. Selama ini, siswa sekolah sudah mendapatkan buku dari sekolah karena telah bekerja sama dengan penerbit. Padahal, penjualan buku oleh penerbit di sekolah merupakan perbuatan yang dilarang pemerintah. “Jadi, penjualan buku sekolah bukan utama di Gramedia sehingga dampaknya tidak terlalu berpengaruh,” ujar Subali.


Kamis, Juli 03, 2008

FGD PENDIDIKAN KESETARAAN LINTAS REGIONAL





Kegiatan Diskusi Kelompok Terfokus
Pendidikan Kesetaraaan (FGD=Focus Group Discussion) Lintas Regional di Hotel Puri Dibia Kuta Bali, Tanggal 29 Juni - 1 Juli 2008.

Peserta berasal dari :
1. BP-PNFI Regional I Medan
2. P2-PNFI Regional I Jayagiri
3. P2-PNFI Regional II Ungaran
4. BP-PNFI Regional IV Surabaya
5. BP-PNFI Regional Makassar
6. Forum Tutor Kesetaraan Prop. Bali